Suatu hari aku lagi asyik duduk duduk ditaman kesayanganku.
Tiba-tiba.
“Hiks... Hiks...”
“Eh?” Nasrul menoleh.
“Suara apa tuh?”
“Hiks...”
Nasrul malah mengorek kupingnya, “Kuping gue kagak salah denger kan?”
“Hiks...”
“Kayak ada
suara cewek nangis? Emang di sini ada orang selain gue?” Nasrul
menggaruk kepalanya. Tiba-tiba matanya melotot. “Hiii, merinding gue...”
Nasrul
mencoba mencari asal suara tersebut. Dia bangkit dari tempatnya duduk
tadi. Dan tak jauh dari sana dia melihat seorang gadis yang duduk tak
jauh dari tempatnya berdiri. Dihampirinya gadis itu...
“Kenapa nangis?” Gadis itu kelihatan terkejut dengan kehadiran Nasrul yang tiba-tiba. Dia segera menghapus air matanya.
“Eh, emm, sorry, gue bikin lo kaget.”
“Ng.. Nggak kok, gakpapa.”
“Boleh duduk?”
Gadis itu tersenyum kecil dan mengangguk.
“Kok gue gak pernah liat lo di sini sebelumnya?”
Gadis itu menatapnya. “Aku baru pindah ke sini 3 hari yang lalu,” jawabnya singkat.
“Ohh,
pantes. Lo tau? Ini tempat favorit gue. Setiap gue lagi sedih, gue pasti
pergi ke taman ini. Dan itu tempat kesayangan gue,” ujar Nasrul sambil
menunjuk sebuah pohon tempat dia duduk tadi.
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa harus pohon itu?”
“Karena itu dulu tempat favorit kami.”
“Kami?”
“Iya. Eh, gue Nasrul, nama lo siapa?” Nasrul mengalihkan pembicaraan.
“Anisa.”
***
Bel masuk
baru saja berbunyi. Tak lama kemudian Bu Ira, wali kelas XI IPA 1,
memasuki kelas bersama seorang gadis perempuan. Tapi gadis cantik itu
hanya menunduk. Tampaknya ia tak senang masuk sekolah ini.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Anisa, perkenalkan diri kamu.”
Dengan malas
Anisa menangkat wajahnya. Menatap teman-teman barunya. Tapi matanya
berhenti di satu titik. “Nasrul...” ujarnya pelan.
“Anisa? Kamu
kenal Nasrul?” tanya Bu Ira. Merasa namanya disebut, Nasrul yang dari
tadi asyik dengan komiknya, langsung buru-buru menyimpannya. Dan mereka
saling pandang.
“Anisa?”
“Cieeeeeee......” kelas XI IPA 1 bergemuruh. Nasrul dan Anisa sama-sama salting.
“Ya sudah, Anisa, kamu duduk di sebelah Sisca ya.”
“Eh, Ris! Sana lo, sama Sisca lo!” Nasrul tiba-tiba mendorong Aris.
“Apaan sih lo Nas?!” Aris jadi heboh.
“Lo kan suka sama Sisca, sono, duduk sama Sisca!”
Aris terdiam, lalu tersenyum jahil. “Cieeee, Nasrul maunya duduk sama Anisa...”
“Apa sih lo Ris??”
“Iya deh, kasi dah... gue pindah. Jadi Shiila lo udah lo lupain?” Aris berjalan ke meja Sisca. Wajah Nasrul memerah.
“Bu, Anisa duduk sama Nasrul aja!” Aris nyeplos. Raut wajah Anisa yang murung berubah menjadi senang.
***
“Kenapa si Zahra, Nas?”
“Biasalah...”
“Dia nembak lo?”
Nasrul diam.
“Nas, Nas... sampe kapan sih lo mau ngarepin Shiila? Banyak cewek-cewek yang ngejar lo, tapi lo nya gak pernah mau.”
Nasrul masih diam. “Gue masih sayang sama dia. Dia bilang dia bakal balik lagi kok.”
“Lo yakin?”
Nasrul mengangguk.
“Tapi ini udah lebih dari 2 tahun, Di. Dan kalian udah lost contact.”
Mereka berdua terlarut dalam keheningan.
“Nas, gue boleh nanya gak?”
“Ng?”
“Lo suka sama Anisa?”
“Uhukk...uhuuukkkk...oohhoookkk....” Nasrul keselek.
“Gak usah lebay deh, Nas...“ Aris melirik NAsrul malas.
“Kenapa lo nanya gitu?”
“Coba aja lo pikirin lagi. Gue yakin dia juga suka sama lo,” Aris berlalu sambil meninggalkan Nasrul sendirian.
***
Lagi-lagi
Nasrul melihat Anisa berada di taman itu. Tanpa ragu dia menghampirinya
dan duduk di sampingnya. Mata Anisa menerawang jauh.
“Kenapa lo selalu ke sini?” tanya Nasrul.
“Karena aku suka tempat ini.”
“Gue juga.”
“Kenapa?”
“Karena tempat ini bisa menghilangkan kesedihan gue.”
“Kenapa? Kenapa kamu sedih?”
“Karena...” omongan Nasrul terputus.
“Eh, lo sendiri kenapa sedih?”
“Karena.... udah gak ada lagi yang peduli sama aku.”
“Koq gitu? Ortu lo ke mana?”
“Ortuku baru
aja meninggal karena kecelakaan. Sekarang aku harus tinggal sama
pamanku. Tapi aku gak suka ada di sini. Paman gak peduli sama aku. Aku
ngerasa sendirian.”
Nasrul
terdiam sesaat. “Tenang aja, sekarang lo gak sendirian lagi,” kalimat
itu mengalir begitu saja dari mulut Nasrul tanpa mengerti maksudnya. Dia
membiarkan Anisa menyandarkan kepalanya di bahunya. Entah mengapa,
Anisa pun selalu merasa nyaman berada di dekat Nasrul.
“Nas, kamu gak tau kalo kesedihanku gak cuma sampai di situ,” ujar Anisa dalam hati.
***
“Assalamu’alaikum... Anisa pulang...”
Sunyi. Tak ada jawaban.
“Paman?” Anisa setengah berteriak.
Anisa
menemukan secarik kertas di ruang keluarga. Dengan malas Anisa
membacanya. Anisa, Paman ada urusan ke Bandung sampai minggu depan.
Nanti kalau mau makan, tinggal bilang saja dengan Bi Inah.
“Non, sudah pulang?” Anisa berbalik. Bi Inah.
“Ya iyalah, Bi! Kalo belom pulang ngapain Anisa di sini??” lalu melengos memasuki kamarnya.
Huft...
Anisa bosan sekali sendirian di rumah. Hanya ditemani pembantu. Dia
belum terbiasa dengan perubahan yang begitu mendadak ini. Dia rindu
dengan kehidupannya yang dulu. Anisa membuka ritsleting tasnya.
Diambilnya secarik kertas bertuliskan angka 100. Dipandanginya kertas
ulangannya itu. Ingin rasanya dia memamerkan hasil ulangan itu kepada
orang tuanya. Mereka pasti bangga. Tapi... apa yang bisa dia perbuat?
Anisa menahan air matanya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan menuju
meja belajarnya. “Semuanya sudah berubah,” ujarnya dengan napas berat.
***
Pukul 4
sore. Waktunya Anisa mengunjungi taman tempat pertama kali ia bertemu
NAsrul. Rumah mereka berseberangan, hanya dipisahkan taman itu.
Tepat
sekali, Nasrul sudah berada di sana, ditemani dengan iPod dan komik, dia
menyandar di pohon kesayangannya. Tanpa ragu Anisa duduk di sampingnya.
“Hai Nas...” ujar Anisa sambil tersenyum. Nasrul menoleh dan tersenyum.
***
“Udah, tembak aja Ris!”
“Ngaco lu Nas!”
“Ngaco gimana? Ntar keburu direbut orang!”
“Dia tuh sukanya sama lo!”
“Iya, gue tau, siapa sih yang gak naksir sama gue?”
Aris cemberut.
“Eh, yang penting dia tau lo suka sama dia!”
“Gak berani!”
“Alah, cupu lo!”
“Terus?”
“Ajakin jajan.”
“Ha?”
“Gak berani juga?”
Aris manyun.
Nasrul
menoleh ke arah Anisa, memecah lamunannya, “Hoy, Nis, jangan bengong!
Ntar kesambet lho! Jajan yuk!” Anisa tersenyum, lalu mengikuti Nasrul.
Nasrul tersenyum jahil ke arah Aris sambil menjulurkan lidahnya. Aris
jadi lemes.
Seseorang menepuk pundak Aris, “Ris, jajan yuk.” Aris mendongak, Sisca?? Aris jadi salting...
***
“Hahaha, lo
pake takut-takut segala! Jadinya dia kan yang ngajakin lo! Gak gengsi
apa diajakin sama cewek?” Nasrul, Anisa, dan Aris sedang dalam
perjalanan pulang. Rumah mereka memang searah.
“Gue nih terlalu ganteng, Nas. Gue takut kalo gue yang ngajakin dia, dia jadi gimanaaaa gitu sama gue.”
“Halah, ngeles aja lo! Gantengan juga gue, ya gak, Nis?” Anisa cekikikan. Nasrul tersenyum.
“Ehemmmmmmm.... Kayaknya kita dari sekolah bertiga dehh...”
“Iya, iya Ris, kita gak cuekin lo, dasarrr, hahaha....”
Nasrul berhasil membuat Anisa tersenyum kembali dan membantunya bangkit dari keterpurukannya.
***
“Nasruuuulllllll.....!!!” Gdeubrackkk!! Nasrul terpelanting dari kursinya.
“Apaan sih
lo Ris! Ngagetin gue aja! Lagi mikirin Anisa juga!” ups! Nasrul
keceplosan. Dia langsung menutup mulutnya. Wajahnya memerah. Tapi Nasrul
bingung, sepertinya Aris tak memperhatikan raut wajahnya. Ada apa
dengan makhluk yang satu ini?
“Nasrul!!”
“Ris! Gue gak budeg!”
“Oh, kirain...”
“Kirain apa?”
“Kirain budeg.”
“Sejak kapan?”
“Sekarang.”
#abaikan
“Kenapa lo?”
"Nasruuulll, gue jadian sama Siscaaaa.....” Aris heboh sendiri.
“Hahaha....”
“Nas? Napa lo?”
“Ketawa.”
"...."
“Dapet keberanian dari mana lo nembak Sisca?” Nasrul kembali waras.
“Gue dapet ilham dong. Aris gitu lohhh...”
“Ilham? Anak mana tuh?” Nasrul stress lagi.
“Terus kapan lo jadian sama Anisa?”
“Ha?” Nasrul mangap.
“Anak ini tambah gila aja...” ujar Aris dalam hati.
***
To : Nasrul
Nas, lagi apa?
1 menit. 2 menit. 3 menit. Tak ada balasan. Ke mana dia? Tak biasanya.
Besoknya di sekolah...
“Nas, kenapa kemaren gak bales SMS aku?”
“Ha? Oh itu, sorry, gue gak ada pulsa.”
“Ma...”
“Eh, Ris, minggu depan kita tanding lawan SMA 123, kan?”
Nasrul memotong omongan Anisa, dan berjalan ke arah Aris. Kenapa dia? Anisa bertanya-tanya dalam hati.
Sore itu
Anisa ke taman biasa dia bertemu dengan Nasrul. Waktu sudah menunjukkan
jam 5 sore, tapi Nasrul belum juga datang. Ditelepon, tak aktif. Di
rumahnya, pembantunya bilang Nasrul gak ada di rumah. Ada apa dengan
Nasrul? Dengan gontai ANisa kembali ke rumahnya.
***
“Nas...”
“Ha?”
“Jajan yuk,” ujar Anisa ragu. Ragu akan ditolak ajakannya.
“Ng... Sorry Nis, gue mau ngomongin pertandingan basket sama Aris,” Nasrul beranjak dari bangkunya menuju meja Aris.
“Nasrul” ujar Anisa setengah berteriak.
“Kenapa Nis?”
“Kamu yang kenapa!”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa kamu menghindar? Apa salahku?”
“Ng.. Nis, sorry banget....” Nasrul setengah berlari meninggalkan kelas.
Aris memandang Anisa.
“Ris...”
“Ha?” Aris salting.
Anisa berjalan ke meja Aris. “Nasrul marah ya sama aku?”
“Nggak kok.”
“Yakin?”
“Koq beberapa hari ini sikapnya dingin banget?”
“Bukan dingin. Tapi lagi banyak urusan.”
“SMS ku gak pernah dibales lagi.”
“Abis pulsa kali.”
“Dan dia gak pernah ke taman lagi.”
“Bagus kan?”
Anisa terdiam.
“Dia ke taman, kalo dia lagi sedih. Kalo dia gak ke taman, berarti dia seneng.”
Anisa masih diam. “Aku bingung sama dia.”
“Dia emang kayak gitu kali. Gue susul Nasrul dulu ya,” Aris meninggalkan Anisa yang termenung.
***
Anisa
terdiam di dalam kamarnya. Dari tadi dia mencoba menghubungi Nasrul,
tapi hapenya tak aktif. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia beranjak
dari tempat tidurnya, menuju lemari. Dibukanya laci lemari, dan
diambilnya sebuah kotak. Dibukanya kotak itu. Air matanya mulai menetes.
“Alvin, apa kabarmu?”
Anisa
memasuki rumahnya dengan malas. Seharian ini dia tidak mengobrol dengan
Nasrul. Paling hanya berucap satu dua patah kata. Padahal mereka
sebangku.
Anisa mendengar suara orang berbincang di dalam rumah. Anisa mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum.
“Paman?
Paman udah pulang?” tanya Anisa sambil mencari pamannya. Dia menemukan
pamannya sedang berbincang dengan Bi Inah di ruang tengah. Paman
menatapnya. Anisa menghampiri dan mencium telapak tangan pamannya, lalu
memeluknya. “Paman, Anisa kangen sama paman...” ujarnya.
“Ng...
Anisa, abis ini Paman harus ke jogja. Mungkin lebih lama, sekitar 2
minggu sampai satu bulan. Anisa gakpapa kan kalo paman tinggal?”
Anisa terdiam dan melepas pelukannya. “Secepat ini?”
“Iya. Ini harus.”
“Tapi paman baru aja pulang.”
“Ini urusan kantor, Anisa. Anisa harus ngerti.”
“Anisa
kesepian, Paman...” lirihnya berusaha menahan air mata kemudian berlari
memasuki kamarnya. Terdengar suara bantingan pintu. Paman
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Anak itu harus belajar lebih mandiri....”
“Mungkin Non Anisa belum terbiasa, Tuan, dengan semuanya. Saya rasa non sudah lebih mandiri dari sebelumnya.”
Paman melirik Bi Inah dengan malas. “Jangan sok tau kamu. Saya pergi dulu.”
“Iya, Tuan,” Bi Inah menunduk patuh.
***
“Nasrul...
aku butuh kamu. Ke mana kamu yang dulu, kamu yang selalu ada buat aku?
Kenapa kamu jauhin aku? Apa salahku, Nas?” Anisa tak sanggup membendung
air matanya. Dipandanginya foto dirinya dan Nasrul yang ada di layar
hapenya. “Aku kangen kamu yang dulu. Aku kangen ngobrol sama kamu di
taman. Aku kangen tingkahmu yang lucu yang selalu bikin aku tertawa.
Kamu ke mana, Di?”
“Sekarang
aku bener-bener ngerasa sendirian. Kenapa kamu juga ninggalin aku, Nas?
Setelah kehilangan mereka, sekarang aku juga kehilangan kamu....”
lirihnya.
Anisa
beranjak dari tempat tidurnya, dan lagi-lagi mengambil sebuah kotak dari
laci lemarinya. Air matanya mengalir makin deras. “Alvin...”
Pikiran Anisa melayang ke satu tahun yang lalu.
Saat itu
hidup Anisa masih baik-baik saja. Semuanya terasa indah. Orangtua yang
begitu menyayanginya. Teman-teman yang setia. Dan dia, Alvin, pacarnya
yang sangat dia sayangi.
Hingga saat itupun tiba.
Hari itu
ketika Anisa sedang melewati sebuah kafe, mata Anisa menatap sesuatu
yang ganjil. Merasa pandangan matanya salah, dia memasuki kafe itu.
“Alvin??”
sahut Anisa tak percaya. Lalu pandangan matanya beralih pada seseorang
yang duduk berhadapan dengan Alvin. Lebih tepatnya bergenggaman tangan
dengannya.
“Lepas!” Anisa menarik tangan Alvin dan gadis itu dengan kasar.
“Ngapain kamu sama Sivia?!” bentak Anisa .
“Aku...ng... aku....cuma temenan sama Sivia.”
“Iya, Nis, kita cuma temenan doang kok...” Sivia meyakinkan.
“Apa iya, cuma temenan sampe harus pegangan tangan segala?!” Anisa sewot.
“A..aku bisa
ngejelasinnya, Nis...” Alvin memegang pergelangan tangan Anisa, tapi
dia memberontak. Dia langsung berlari keluar dari kafe itu.
Saat itu
Anisa berharap Alvin akan meneleponnya dan meminta maaf padanya. Tapi...
harapannya pun pudar. Alvin membiarkannya begitu saja. Berminggu-minggu
Anisa menunggunya, tak juga ada telepon dari Alvin. Sekalipun Anisa
mencoba melepon Alvin, nomornya sudah tidak aktif. Tak akan ada yang
mengerti betapa sayangnya Anisa pada Alvin, walaupun Alvin berkali-kali
menyakitinya.
Di tengah
menunggu harapan yang semu, sebulan setelah kejadian di kafe itu, Anisa
menghadapi sesuatu yang sangat merubah hidupnya untuk ke depannya.
Kecelakaan naas merenggut nyawa kedua orang tuanya. Belum selesai
masalahnya dengan Alvin, masalah lain datang menghampiri.
Anisa begitu
terpuruk dengan semua itu. Sampai akhirnya Anisa menemukan seseorang
yang telah merubah hidupnya menjadi lebih baik. Nasrul. Dialah
penyemangat hidup Anisa saat ini. Nasrul-lah yang membantu ANisa bangkit
dari semua masalahnya. Nasrul-lah yang dapat menghapus air mata Anisa.
Nasrul-lah yang membuat hari-hari Anisa menjadi lebih indah. Nasrul-lah
yang menemani kesendirian Anisa. Dan, Nasrul-lah orang pertama yang bisa
membuat Anisa melupakan Alvin.
Tapi kini...
Nasrul pun ikut meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Apa iya dia
memang ditakdirkan untuk hidup sendirian? Apa iya dia tak pantas untuk
menyayangi seseorang? Mengapa semua orang yang dia sayang satu per satu
meninggalkannya?
***
Anisa menatap nilai ulangannya dengan pasrah. Angka yang sangat jarang mampir padanya sebelum ini. 54.
"Siapa juga
yang peduli dengan nilaiku,” itulah yang selalu ada di pikiran Anisa.
Dia ingat sekali, dulu dia dengan bangga memamerkan setiap nilai-nilai
ulangannya pada orang tuanya. Andai saja mereka masih ada, Anisa akan
belajar dengan keras, agar Anisa tidak melihat gurat kekecewaan di wajah
kedua orangtuanya.
***
Bel
istirahat berbunyi. Nasrul melengos begitu saja meninggalkan Anisa .
Anisa berusaha menyesuaikan diri dengan sikap Nasrul. Dia tak ambil
pusing lagi, walau terasa sangat sakit di hatinya. Tapi dia menghampiri
Danny yang sedang memakan bekalnya.
“Ris, sorry ganggu kamu makan.”
“Ow, gawawa kow,” jawabnya sambil mengunyah makanan yang penuh di mulutnya.
“Makannya abisin dulu.”
Segera Aris menurut. Setelah habis dan meminum airnya, dia memulai omongannya. “Apaan Nis?”
“Siapa itu Shiila?”
“Uhuukkkk..uhukkk....” Aris mengambil minumnya.
“Kenapa sih?”
“Cabe nyangkut di gigi (?)”
“Sampe sebegitunya batuk.”
#abaikan.
“Shiila itu siapa, dan jangan keselek lagi!”
“Ng... gak tau.”
“Jangan bohong. Kalian udah lama sahabatan. Dan kamu pasti tau siapa Shiila.”
“Elo tau nama Shiila dari mana?”
“Nggak penting.”
“Yaudah gue gak mau ngasih tau.”
“Oke. Gue liat Nasrul nulis nama Shiila di bukunya.”
“Ohh..”
“Kok ‘ohh’? Terus, Shiila itu siapa?”
“Huft...”
“Kenapa Ris?”
“Kenyang (??)”
“Serius, Ris, Shiila itu siapa?”
“Mantannya Nasrul.”
Anisa terdiam. “Cuma sekedar mantan? Lebih dari itu?”
“Oke, kalo
lo terus maksa. Dulu di SMP Nasrul punya pacar, namanya Shiila. Tapi si
Shiila itu harus ikut orang tuanya pindah ke Rusia waktu kelas 8.”
“Gitu doang?”
“Iya.”
“Mereka putus?”
“Gak tau.
Gue juga bingung sama si Nasrul, kenapa dia terus ngarepin Shiila.
Padahal si Shiila janji cuma ninggalin dia 2 tahun. Tapi ini udah tahun
ketiga. Dan mereka sama sekali udah gak ada komunikasi.”
Anisa mengangguk-agguk.
“Dan lo tau, Nis?”
“Apa?”
“Taman itu dulu adalah tempat favorit Nasrul dan Shiila.”
Anisa terenyuh. Sekarang dia tau, alasan Nasrul untuk sering-sering ke taman itu, dan menyebutnya sebagai ‘tempat favorit kami’.
“Terus kenapa baru sekarang aku tau nama Shiila? Kenapa gak dari dulu Nasrul cerita tentang Shiila?”
“Ng....”
“Kenapa Ris?”
“Sebulan yang lalu Shiila udah balik ke indonesia.”
Dada Anisa
sesak mendengarnya. Ya, sekarang Anisa sudah mengerti dengan perubahan
sikap Nasrul akhir-akhir ini. Nasrul lebih memilih masa lalunya daripada
dia.
***
Anisa memasuki rumahnya dengan malas. Sekarang, di sekolah, di rumah, sama-sama tak menyenangkan, begitupun di taman.
Dia
mendengar suara orang berbincang. Anisa tau, itu suara pamannya. Tapi ia
tak peduli. Anisa melengos memasuki kamarnya, kalau saja Bi Inah tidak
menyahut.
“Loh Non? Kok pamannya dicuekkin?”
Anisa
melirik pamannya dengan malas. “Paman balik ke sini paling cuma bentar
kan? Dan paman sekarang mau berangkat lagi kan? Entah itu ke bandung,
jogja, surabaya, iya kan?”
“Anisa, kok ngomong gitu?”
“Emang kenyataannya!”
“Non?” Bi Inah terhentak oleh suara tinggi Anisa.
“Tapi paman
kan ada urusan kantor. Anisa gak boleh gitu dong. Gak boleh manja. Anisa
harus belajar mandiri, dan Anisa harus ngertiin kerjaan paman.”
Anisa beralih dari pintu kamarnya. Dengan mata berkaca-kaca, dia berjalan perlahan mendekati pamannya.
“Oh, jadi paman nganggep Anisa ini masih kayak yang dulu? Anisa yang manja? Anisa yang selalu tergantung sama mama? Gitu?”
Paman terdiam.
“Paman
selalu, selalu, dan selalu saja nyuruh Anisa untuk mandiri. Paman gak
tau bahwa Anisa udah berubah! Anisa bukan Anisa yang manja! Mungkin
paman gak pernah sedikitpun melihat perubahan Anisa. Itu karena paman
gak peduli sama Anisa!”
“Anisa...”
“Anisa tau,
paman bukan papa Anisa,” Anisa memotong omongan pamannya. “Tapi yang
harus paman tau, Anisa capek sendirian! Gak ada yang bisa ngertiin
Anisa! Anisa butuh kasih sayang, Paman!” Anisa tak sanggup menahan air
matanya, dan dia berlari ke taman, ke bangku di mana pertama kalinya ia
bertemu Nasrul, tempat di mana ia bisa menangis sepuasnya.
Tangis Anisa pecah. Rasanya dia tak sanggup menahan ini semua sendirian. Dia ingin cepat-cepat menyusul kedua orang tuanya.
“Menangislah sepuasmu,” tiba-tiba Anisa mendengar suara seorang cowok. Anisa memasang telinganya baik-baik.
“Asal kau
berjanji, ini adalah terakhir kalinya kau menangis.” Suara itu samar,
tak begitu terdengar jelas. Mungkinkah itu suara Nasrul?
“Nasrul?” Anisa beranjak dari tempatnya, mencari-cari sosok Nasrul.
“Mulai sekarang, aku akan temani hari-harimu lagi.”
Anisa
terkejut. Mendengarnya, membuat secercah senyum kembali pada wajahnya.
Anisa tak sabar. “Nasrul? Itu beneran kamu kan? Kamu di mana?” Anisa
berjalan menuju pohon besar tempat favorit Nasrul.
Anisa mencari-cari nasrul di sekitar sana, tapi Nasrul tak juga tampak.
“Anisa!” Anisa tersadar, suara itu tepat berada di belakangnya!
Anisa berbalik. “Nasrul?”
“Anisa....”
Anisa menatapnya tak percaya. Anisa menatap sosok yang ada di hadapannya saat ini. Kenapa? Kenapa dia bisa hadir lagi?
“Alvin?” sahut Anisa tak percaya.
Sosok di hadapannya tersenyum. “Iya, ini aku.”
“Kenapa? Kenapa kamu ada di sini? Dari mana kamu tau kalo aku ada di sini?”
“Itu semua gak penting,” jawabnya singkat, masih tersenyum.
Mereka
berdua saling pandang. Bayangan akan kenangan-kenangan indah mereka
setahun yang lalu berkelebat dalam benak Anisa. Alvin menatapnya dalam.
“Aku mau
minta maaf sama kamu atas kejadian hari itu. Dan aku masih sayang sama
kamu, Nis. Kamu mau kan kalo kita baikkan kayak dulu lagi?”
Anisa
terdiam. Hatinya bimbang. Bayangan akan kenangan-kenangan itu datang
silih berganti dengan semua yang telah dilaluinya bersama Nasrul
beberapa bulan ini. Nasrul yang selalu ada untuk Anisa di saat suka
maupun duka. Nasrul yang membantunya untuk bangkit kembali. Nasrul yang
membantunya untuk berhenti mengharapkan Alvin. Tapi, Nasrul kini pun
sudah meninggalkannya. Nasrul tak peduli lagi dengan masalah-masalah
yang Anisa hadapi. Nasrul membiarkan Anisa terpuruk dalam
kesendiriannya. Anisa kembali menatap orang di hadapannya. Anisa begitu
merindukan tatapan matanya. Tak jauh berbeda dari setahun yang lalu.
Anisa menggeleng kuat. “Nggak, Vin. Kamu udah terlambat. Aku udah gak suka lagi sama kamu!”
“Kenapa?”
“Kenapa?
Harusnya aku yang nanya begitu ke kamu! Kenapa baru sekarang kamu minta
maaf? Harusnya kamu mengucapkan itu dari setahun yang lalu!”
“Tapi Nis....”
Anisa merasa
kepalanya pusing. Dia lelah dengan semua yang masalah dia hadapi. Dan
dia harus menghadapinya sendirian. Kehadiran Alvin kembali dalam
hidupnya, justru membuat Anisa merasa semakin terpuruk. Anisa berlari
meninggalkan taman itu, tanpa sadar sebuah mobil melaju dengan kecepatan
kencang ke arah Anisa.
Tiiiinnn!! Lalu semua menjadi gelap.
***
“Anisa, kamu
sadar dong, Nis... Aku mohon....” suara itu menemani sekujur tubuh yang
terbaring tak berdaya di salah satu kamar rawat. Selang oksigen
menempel di hidungnya. Di tangannya terdapat infus. Dan kepalanya
dibaluti perban.
Lelaki itu
terus menggenggam tangannya. “Nis, aku minta maaf kalau akhir-akhir ini
nyuekkin kamu. Tapi kamu harus tau, aku sebenernya sayang kamu.”
Beberapa pasang mata menatap mereka dari luar ruangan. Mereka; Aris, Sisca, Shiila, Paman, dan... Alvin.
“Nis, aku
mohon, kamu harus sembuh. Kamu tau, Nis? Aku udah putusin Shiila. Aku
udah gak suka sama dia. Dan yang aku sayang sekarang adalah kamu. Kamu
adalah masa depan aku.”
“Aku nyesel, Nis. Kenapa belakangan ini aku sering ninggalin kamu. Padahal aku tau kalau kamu lagi banyak masalah.”
“Aku berharap, sekarang aku yang ada di posisi kamu, Nis.”
“Anisa...” Nasrul nyaris menangis.
Nasrul yang
sedari tadi menggenggam tangan Anisa, tiba-tiba merasakan tangannya
bergerak. ANisa mengangkat wajahnya, menatap Nasrul. “Anisa? Kamu udah
sadar Nis?” sahut Nasrul penuh harap.
Anisa perlahan membuka matanya.
“Anisa?”
“Nasrul...”
Mereka berdua saling pandang.
“Nas... makasih kamu udah ada di sini,” ujarnya lemah.
“Iya, Nis, kamu gak usah berterima kasih.”
“Nas...”
“Ya?”
“Makasih ya kamu udah nemenin aku beberapa bulan ini.”
Nasrul terdiam.
“Makasih kamu udah merubah hidupku.”
“Maksud kamu Nis?”
“Memberikan kebahagiaan tersendiri buat aku.”
“Maksud kamu apa sih, Nis??”
“Makasih udah bikin aku gak ngerasa sendirian lagi.”
“Jawab, Nis, maksud kamu ngomong gitu apa??”
Anisa tak merespon pertanyaan Nasrul.
“Tapi aku udah capek, Nas.”
“Anisa, kamu
gak boleh ngomong begitu!” Anisa berusaha menahan tangisnya. “Kamu
harus kuat. Dan aku yakin, kamu pasti bisa!” Nasrul menyemangati.
“Tapi, Nas...”
“Anisa, aku akan selalu ada buat kamu. Dan kamu harus sembuh!!” Nasrul panik.
Anisa hanya
tersenyum. Nasrul memandang Anisa. “Aku sayang banget sama kamu Nis,
Sambil mengecup kening Anisa "jangan tinggalin aku.”
“Aku juga sayang banget sama kamu Nas...”
Tiba-tiba
napas Anisa tercekat. Nasrul panik. Ditekannya bel untuk memanggil
dokter. Dokter datang, dan meminta Nasrul untuk keluar.
Di luar,
Nasrul, Danny, Sisca, Shiila, Alvin, dan paman, menunggu dengan
harap-harap cemas. Mereka takut terjadi apa-apa pada Anisa. Mereka baru
menyadari, bahwa Anisa membutuhkan perhatian dan kasih sayang mereka.
Tapi mengapa mereka baru menyadarinya di saat seperti ini?
Nasrul tidak
tenang. Dia hanya bisa mondar mandir tak karuan. Sesekali dia mengintip
melalui jendela pintu. Perasaan Nasrul sungguh tak enak.
“Anisa, kamu harus kuat. Aku cuma sayang kamu, bukan Shiila!” teriak Nasrul dalam hati.
Tak lama kemudian, dokter keluar ruangan. Nasrul yang pertama menghampirinya.
“Gimana dok, gimana keadaan Anisa? Anisa baik-baik aja kan dok??” ujar Nasrul tak sabar.
Yang lain menatap dokter dengan penuh harap.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi....”
Air mata Nasrul dan yang lainnya mulai mengalir. Nasrul menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Nggak dok, dokter pasti bohong kan?!” Nasrul setengah berteriak.
"Maaf, Nak," Dokter menggeleng lemah, kemudian meninggalkan mereka.
Yang bisa
mereka lakukan sekarang hanyalah menangis. Penyesalan selalu datang
terlambat. Mereka menyesal telah membiarkan Anisa sendirian selama ini.
Sekarang sang waktu telah bergulir. Dan kita tidak bisa merubah apa yang
sudah kita perbuat di masa lalu.
"THE END"
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul: *TAMAN CINTA*
Ditulis Oleh Unknown
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel *TAMAN CINTA* ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya
Judul: *TAMAN CINTA*
Ditulis Oleh Unknown
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel *TAMAN CINTA* ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya
0 komentar:
Posting Komentar