Kamis, 01 Agustus 2013

Arti kehidupan



                                       -ARTI KEHIDUPAN- Jalanan malam ini sangat ramai, namun tak mengurangi keinginanku untuk menambah kecepatan memacu kendaraan ini. Pikiranku mulai merancu tanpa kendali. Aku mulai muak dengan kehidupanku saat ini. Bila ada orang yang mau bertukar kehidupan denganku, aku akan dengan senang hati menerimanya. Bukan karena aku tak menghargai kehidupanku saat ini, namun bagaimana lagi? Aku sudah bosan hidup seperti ini.
Lampu merah mulai menyala, aku sandarkan tubuhku di jok mobil. Tapi, belum sempat aku memejamkan mata untuk sejenak, aku mendengar samar-samar suara beberapa anak kecil yang bernyanyi. Aku membuka kaca mobil, dan memberi mereka satu lembar uang lima puluh ribuan. Tampak sekali kalau mereka senang. Aku memperhatikan itu. Mereka bersorak senang dan tampak berlari menuju ke tempat yang aku tak tahu tempat itu. Aku terus memeperhatikan mereka, hingga tak kusadari bahwa lampu traffic light sudah berubah menjadi hijau.

Esoknya, aku menuju ke tempat anak-anak jalanan kemarin. Aku tepikan mobilku di tempat anak-anak jalanan beraksi mencari uang. Aku terus mengamati mereka dari tempatku menepi. Kulihat mereka sangat menikmatinya, meski harus melawan teriknya matahari kala itu. Seketika aku melihat mereka berjalan beriringan ke gang kecil. Aku turun dari mobil setelah sebelumnya aku memarkirkannya ke tempat yang menurutku cukup aman.
Aku mengikuti mereka diam-diam. Terlihat mereka berjalan sambil bersenda gurau satu sama lain. Mereka berhenti dan masuk ke dalam rumah yang menurutku cukup sempit bila dihuni oleh orang sebanyak mereka. Aku tetap mengikuti mereka. Dan aku terkejut! Ternyata tidak hanya mereka saja yang tinggal di sini. Namun, masih banyak anak lain di sini.
“Hei” aku terlonjak saat mendapati sebuah tangan menepuk bahuku. Ku putar badan menghadap ke arahnya. Terlihat pemuda seumuran denganku berdiri tegap di hadapanku.
“Hei” jawabku sedikit gugup.
“Ada perlu apa ke sini?” tanyanya ramah.
“Aku.. aku.. mau.. lihat.. lihat.. saja” aku masih gugup.
“Ah, ayo aku antar kalau kamu mau lihat-lihat!” aku mengangguk sembari mengikutinya. Banyak anak yang menyambutku ramah.
“Ini rumah kami. Di sini bisa dibilang tempat penampungan untuk kami, anak jalanan. Ayo, aku antarkan kamu menemui pengasuh di sini.” Aku masih tetap mengikutinya. Diam-diam, aku berdecak kagum oleh orang-orang di sini. Mereka tetap tersenyum meski dalam keadaan kekurangan.
“Bu, ini ada yang ingin bertemu ibu” pemuda itu berujar sembari menunjukku.
“Mana, Res?” ibu itu terlihat meraba-raba sesuatu. Pemuda itu meraih tangan ibu itu dan membantu mengulurkannya ke arahku.
“Saya Arya, Bu!” ucapku sambil menerima uluran tangannya.
“Ya, maaf saya tak bisa melihatmu. Res, temani dia dulu ya! Ibu mau menidurkan Kanya dulu” ibu itu bangkit dan berjalan sambil meraba-raba tembok di dekatnya. Astaga! Aku tertegun, baru kusadari bahwa ibu pengurus panti itu buta!
“Aku akan mengenalkanmu pada anak-anak lainnya di sini. Ayo ikut aku” aku hanya mengangguk. Ia mengantarkanku ke kamar yang tidak terlalu besar. Di sana anak-anak sedang belajar.
“Mereka masih baru di sini. Kamu lihat anak yang sedang menggambar di ujung sana? Namanya Reva, dia bercita-cita menjadi pelukis terkenal. Namun, kekurangan membuat cita-citanya terbengkalai. Ia tak mempunyai biaya untuk memenuhi satu syarat..”
“Untuk?” potongku cepat.
“Dia ingin sekali mengikuti lomba menggambar di salah satu mall terbesar di kota ini. Namun, ia tak punya uang untuk membayar administrasinya. Kami ingin membantu, namun kami juga tak mempunyai itu.”
“Kamu juga lihat kan anak yang sedang memainkan harmonika itu? Namanya Rika, kemarin ia ditolak oleh salah satu panitia lomba, karena dia memakai kursi roda,” ya, aku menyadari itu. Rika duduk di kursi roda.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku dan pemuda yang kuketahui bernama Restu itu berbalik, mendapati seorang anak laki-laki tengah memegang secarik kertas. Restu menunduk menyamakan tingginya dengan anak itu. Akupun melakukan hal yang sama.
“Kenapa, dek?” Restu bertanya sambil mengelus puncak kepala anak itu lembut.
“…” anak itu tak menjawab, melainkan mengibar-ibarkan kertas yang digenggamnya tadi. Restu menerimanya kemudian membaca surat itu. Kemudian Restu memberikannya kepadaku.
“Festival menyanyi tingkat Kabupaten” aku mengeja kata-kata di kertas itu. Aku melihat anak itu mengangguk-angguk semangat.
“Kenapa enggak ikut aja?” tanyaku bingung. Adik kecil itu terlihat menunduk, raut wajahnya sedih.
“Kenapa?” tanyaku lirih.
“Dia enggak bisa bicara” jelas Restu pelan. Aku tersentak. Adik kecil itu berlari menjauh dari kami.
“Maaf” ucapku menyesal.
“Ya, sekarang kamu tahu kan? Mereka memiliki kekurangan masing-masing, namun mereka tetap berusaha, enggak menyerah pada nasib. Mereka tetap melanjutkan hidupnya tanpa ada niatan untuk mengakhirinya” ucapan Restu itu telak mengenai ulu hatiku. Aku merasa tersindir akan pengakuannya. Dan kehidupan di sini telah mengajarkan aku apa itu arti kehidupan.
“Ehm, makasih kamu sudah ngasih aku arah” ucapku sambil tersenyum.
“Maksud kamu?” Restu bertanya dengan wajah bingung.
“Ya, sebenarnya aku itu mau kabur dari rumah. Aku sudah enggak tahan dengan kehidupanku di sana. Di sana aku merasa seperti tinggal di neraka. Aku benar-benar enggak kuat menghadapi itu. Tapi, berkat kamu sudah ngenalin aku sama anak-anak yang kuat di sana, aku jadi yakin bahwa keinginanku untuk keluar dari rumah itu salah. Makasih banget ya” aku tersenyum lebar, yang juga dibalas Restu dengan senyuman.
“Kalau aku lihat dari penampilanmu, kamu anak orang kaya ya?” tanya Restu.
“Ya, bisa dibilang begitu, namun bagiku kaya harta tapi miskin kasih sayang sama saja kan? Orang tuaku sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan untuk menemaniku sarapan saja mereka tak ada waktu untuk itu. Maka dari itu, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Ditambah ternyata teman-temanku selama ini hanya memanfaatkanku saja. Mereka mendekatiku karena mereka pikir aku akan membayari mereka kencan dengan pacar-pacar mereka. Sekarang aku sudah sadar, betapa pentingnya kasih sayang itu. Bagaimana indahnya ketulusan itu. Dan sekarang, ijinkan aku membantu panti ini” jelasku panjang lebar.

Aku tersenyum senang. Kemarin malam, saat aku pulang dari panti yang kuketahui bernama ‘Cahaya Kasih’, kedua orang tuaku pulang dan meminta maaf. Teman-temanku juga begitu. Mereka minta maaf akan kesalahan mereka selama ini. Dengan tersenyum, aku memaafkan mereka.
Sekarang, aku sedang berdiri di depan panti. Aku bersyukur bisa membuat mereka semua tertawa senang. Saat ini aku tengah menyumbangkan barang-barang yang sekiranya dibutuhkan oleh mereka.
“Kak” suara seseorang membuyarkan lamunanku.
“Kenapa, Dek?” aku mengelus puncak kepala Reva. Reva malah membalasnya dengan tersenyum.
“Aku menang lomba, Kak!” serunya senang. Aku hanya tersenyum. Ya, kemarin sepulang dari sini, aku mendaftarkannya ke perlombaan lukis itu. Dan kemarin, aku juga memohon kepada panitia lomba musik, agar Rika bisa mengikuti lomba itu tanpa mengenal fisiknya. Ternyata permohonanku dikabulkan panitia dan saat ini Rika sedang mengikuti perlombaan itu. Saat ini aku bisa lebih menghargai kehidupan. Dan aku berjanji, tak akan mengulangi kesalahanku yang dulu-dulu lagi.
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul: Arti kehidupan
Ditulis Oleh Unknown
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel Arti kehidupan ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya

0 komentar:

Posting Komentar

- See more at: http://www.tutorial89.com/2014/08/cara-mudah-membuat-tombol-share-di.html#sthash.OgoqHD14.dpuf